Including Blog

Rabu, 20 Juli 2011

Menjadi Gila

Menjadi Gila



Actually I'm telling about myself here. So it can be said also, I'm venting what I was thinking. Apa yang telah gue pikirkan belakangan ini, dan sering menghantui jiwa gue di tengah malam. Seperti.... Sebuah candu. Candu akan ketakutan yang membuat pikiran gue menjadi lebih terbuka. Gue pun juga bingung, ini sebenarnya adalah hal yang baik apa bukan? Dan pikiran ini berdampak cukup besar kepada diri gue (walaupun ini cuma baru pikiran), tapi ya justru dari pemikiran yang dibiasakan lalu akan membiaskan kepada tingkah laku, dan juga pola pikir. Sekarang menjadi pertanyaan lagi, ini memang pikiran atau hanya angan? Apapun itu, akan gue ceritain disini.


Ok, gue merasakan pemikiran ini kurang lebih dari 1-2 bulan yang lalu. Dan selalu muncul di tengah malam, which is jam-jamnya kerja buat gue ya secara gw insomnia.. Dan akan berakhir ketika matahari sudah bangun dari mimpinya. Aneh ya?

Pemikiran pertama, gue ingin menjadi gila.
Kenapa gila? Twitter sangat membantu gue untuk mencapai pemikiran ini.
Karena gue melihat banyak kemunafikan di timeline gue. Gue sangat jelas mengenal siapa mereka, tapi mereka bertingkah 180 drajat berbeda ketika di Twitter.
"Tweet to express, not to impress." Mungkin itu yang harusnya mereka ungkapkan.
Begitu juga di kehidupan yang nyata. Kemunafikan seperti jamur di kulit. Mudah untuk menyebar, namun tersembunyi. Kotor, dan sulit untuk diobati.
Apapun jenisnya, kemunafikan adalah racun.
Dengan menjadi gila, seseorang tidak akan mengenal seperti apa struktur kemunafikan itu sendiri. Dengan menjadi gila, seseorang akan melakukan apapun yang ia kehendaki tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi.
Dengan menjadi gila, seseorang akan sangat aktif, menghargai dan perduli akan apa yang ada disekitarnya.
- Dengan menjadi gila, seseorang akan sangat aktif, menghargai dan perduli akan apa yang ada disekitarnya. Kenapa? Mereka akan sangat amat mengamati apapun yang ada di sekelilingnya, dan 'menyentuhnya'. Apapun itu. Air, udara, bau, benda.
Pernah gue berbicara dengan seseorang yang bisa dibilang 'kurang waras' di sekitaran Puncak. Gue yakin dia enggak berbahaya, karena dia seperti berbeda dengan yang lainnya.
Dia menggunakan pakaian ala Eskimo yang terbuat dari karung-karung beras yang udah di design sendiri sama dia hingga menjadi sebuah pakaian. Dia berdiri di pinggir jembatan, yang awalnya gue kira mau bunuh diri. Gue pun dengan berani menghampiri dan menyapanya.

"Permisi pak, sedang apa?"
dia awalnya diam, lalu gue tanya lagi.
"Permisi pak, sedang apa nih?"
lalu dia menjawab "Bernafas.."
jawaban dia yang membuat gue semakin bertanya-tanya..
"Bernafas? Kita sudah bernafas sejak kita dilahirkan p...." dan dia langsung memotong,
"Kita bernafas karena udara, tapi kita jarang menghargainya." dengan nada berat. Sepertinya dia menjadi seperti itu dikarenakan stress.
Dan gue ingin melanjutkan pembicaraan itu karena gue pikir ini sangat menarik untuk dibahas, terutama dengan lawan bicara yang lebih menarik lagi. Tapi apa daya, temen-temen gue udah keburu manggil gue dan pada ketakutan gue di apa-apain. Akhir kata gue ucapin selamat tinggal ke bapak itu, tapi dia malah diem aja. Yaudah..

Dari situ gue mempelajari. Bahwa kegilaan akan menjadikan kita lebih menghargai apa yang ada disekitar kita, yang tidak dilakukan pada manusia normal umumnya.
Keadaan air, udara, suara, getaran, atau debu sekalipun. Apapun yang ada disekeliling kita. Kita hanya menganggapnya sesuatu yang biasa, atau malah justru sesuatu yang mengusik. Hal itu dikarenakan sudah terbiasa berada disekeliling kita, atau justru sebaliknya, kita tidak pernah menjumpai hal itu sehingga kita menganggapnya seperti ancaman. Seperti misalnya, kita terbiasa hidup di rumah yang bersih, dan ketika kita mendatangi rumah yang berantakan dan kotor, kita tidak akan merasa nyaman berada di tempat itu.
Kegilaan juga membuat kita bebas berekspresi. Gue jadi inget sama salah 1 pelukis hebat masa impresionis dari Belanda, Vincent van Gogh. Yang mengalami banyak tekanan pada hidupnya lalu menjadi gila. Dan disaat ia menjadi gila, justru disitulah puncak dari karirnya dimulai. Ia mulai melukis apapun yang ada di memori dia tanpa merusak kualitasnya. Dia tidak lagi memperdulikan apa pun, termasuk "Hukum". Dikarenakan dia pernah di penjara dulu akibat melukis sesuatu yang melanggar hukum. Namun, ia sudah menjadi gila pada akhirnya, tidak akan ada hukum yang bisa membunuhnya. Tidak akan ada hukum yang membunuh HAM dia untuk melukis.
kegilaan membuat
Kegilaan akan membuat berhenti menjadi munafik. Tidak akan ada manusia yang gila namun tetap munafik. Dia akan menjadi siapa dia sebenarnya (termasuk over appreciate) terhadap apa yang ada disekitarnya. Dalam konteks ini, gue memasukan kriteria "orang gila" sama seperti "bayi yang baru lahir", yaitu = tidak berdosa / suci. Apapun yang mereka lakukan (ketika menjadi gila), ya mereka lakukan. Tidak dikarenakan telah terinspirasi, ataupun untuk mendapatkan perhatian. Mereka melakukan apa yang mau mereka lakukan, thats all! Mereka tidak dipengaruhi oleh gaya, mereka menjadi mereka. Tidak membutuhkan cinta, tidak membutuhkan gadget, tidak membutuhkan teman.... Mereka hanya membutuhkan, perlindungan.....



Dan gue, sangat ingin menjadi gila.
Itu mengapa gue sering dengan sengaja berfikir terlalu keras. Berfikir terlalu logis sehingga membuat otak gue gak mampu untuk menghandle nya.
Untuk menjadi gila.























Selasa, 12 Juli 2011

Dimana Toleransi Itu Hidup?

Dimana Toleransi Itu Hidup?


Apa itu toleransi?
Toleransi. Sudah menjadi judul dari BAB saat kita duduk di sekolah dasar hingga ke sekolah menengah atas. Tapi, seperti apa praktiknya di lapangan? Ketiadaan.
Agama. Apa itu agama?
Kita sudah mempelajari mengenai hal itu yang juga sama, sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah keatas. Tapi, seperti apa praktiknya di lapangan? Kehampaan.
Toleransi dalam beragama, bagaimana?
Omong kosong. Anggap itu sebuah dongeng sewaktu kecil dan kita hanyalah akan mengenangnya. Mungkin memang banyak masyarakat di Indonesia yang tidak sekolah ataupun putus sekolah. Kita pun memakluminya. Tapi, apakah 'mereka' hanya memakluminya begitu saja? Sebisa mungkin, kita juga akan ikut serta dalam membantunya.

Tapi bagaimana dengan mereka yang sanggup sekolah, mereka yang menjalani sekolah dengan cukup, atau bahkan hingga tinggi, tapi tidak mengenal toleransi antar umat manusia?
Mereka hanyalah seperti padi yang ditanamkan di gurun pasir.
Berharga, tapi tidak berguna.
Kesalahan pertama semenjak di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas adalah,
mereka hanya mengajarkan toleransi antar umat beragama. Disitu, mereka menutup mata dan hanya menganggap manusia yang ada itu manusia yang beragama, dan itu jelas baik, bagi mereka.
Dan disitu juga lah kesalahan fatalnya terletak.
Kesucian akan martabat menyapu bersih akhlak mereka yang sudah diajarkan, dikarenakan ajaran yang juga menyesatkan.
Sehingga melahirkan generasi sesat dalam berfikir mengenai Toleransi, dan selamanya akan seperti itu.
Hingga timbul anggapan, "Mereka yang beragama itu SANGAT LAH BAIK, karena semua agama mengajarkan KEBENARAN". Which is, "Beragama" = "Baik". Tidak beragama = "BURUK".
Ya, kurang lebih begitu penjelasannya.

Lalu, dimana letak TOLERANSI yang sesungguhnya itu berada?
Dimana kebebasan akan berbicara itu berdetak?
DIMANA HAK ASASI MANUSIA ITU BERNAFAS?
Kalau saja sudah sejak dulu kita diajarkan kesesatan dalam mengartikannya.
Kesesatan dalam menafsirkan, toleransi antara manusia, yang sesungguhnya sedang kita hadapi sekarang.

Kita selalu akan ada berontak sewaktu-waktu pada otak, dan menciptakan sebuah pemikiran yang idealis. Kadang itu dipengaruhi masa lalu, lingkungan, ataupun AGAMA.
Sehingga adalah hal yang lumrah jika datang seseorang berkhotbah begitu saja lalu pergi, seseorang yang berteriak-teriak akan emosinya lalu menangis, atau juga seseorang yang muak akan semuanya. Disitu lah HAK ASASI berada. Hak untuk berbicara, hak untuk mengutarakan pendapat, hak untuk bebas berfikir, hak untuk hidup.
Tapi, toleransi agama yang diajarkan sejak dulu merusaknya. Seakan-akan, hak itu dikekang oleh agama. Hak itu....... Diikat dengan erat oleh dasar-dasar hukum agama.
Sehingga HAM pun sudah tidak bernyawa, mati dengan ikatan yang begitu kencang.
Itu lah kita hari ini.

Pagi ini, gue nonton berita-berita di salah 1 channel. Yang sepertinya sangat menjelaskan berapa kuatnya suatu agama itu. Mencabik, menghakimi, membabi buta HAK ASASI MANUSIA.
Bagaimana dasar agama, menjadikan orang lainnya sangat terikat dan dipaksa patuh terhadapnya. Miris, dan menyedihkan... Sempat beberapa kali gue meneteskan air mata, air mata mereka, kesakitan mereka akan kekangan ini.
Hingga akhirnya gue mengeluarkan ucapan maut "Emang udah sangat jelas deh kalau AGAMA itu emang MERUSAK HAK ASASI MANUSIA."
Sebenarnya ini adalah tweet pancingan, bagaimana mereka, yang beragama beraksi.
Namun pancingan ini sangatlah paten. Hingga dapat memperlihatkan seperti apa mereka yang bergama itu berfikir kritis kepada apa yang ada disekitarnya.



Jelas mereka adalah orang yang beragama, jelas memiliki Tuhan.
Dan seperti itu mereka. Lebih geram dan lebih liar dari binatang. Hahaha, lucu ya?
Lalu gue juga mendapat respon positif dari orang-orang yang beragama, tapi berfikiran terbuka mengenai statement gue.



Pikiran mereka terbuka, sekalipun mereka beragama.
Bukan makhluk bar-bar. Itu lah toleransi.
Toleransi bukan saja antar umat beragama, toleransi yang sebenarnya adalah toleransi antar manusia. Bagaimana kita menghargai, memiliki perbedaan pendapat dan pikiran, maka membuat forum diskusi. Bukan dengan pelecehan yang seakan-akan menganggap drajatnya lebih tinggi. Yang padahal, belum tentu mereka sendiri mengerti akan agama yang mereka percaya, belum tentu juga menjalankan perintah-perintah dari Tuhannya.
Hanya akan datang ketika agamanya di sudutkan, dan begitu saja. Seperti pemain cadangan yang meneguk anggur merah basi, pahlawan kesiangan tanpa dasi, apalagi?

Bahwa sesungguhnya, kita memiliki kebebasan dalam memilih agama, atau bahkan tidak memilih. Itu adalah keputusan dari tanggung jawab yang akan di ambil oleh masing-masing manusia. Lalu mengapa diributkan?
Seseorang hingga bisa melenceng kejalan yang lain, pasti dikarenakan sesuatu. Tidak belok begitu saja. Pasti dikarenakan sesuatu. Realita, masa lalu, fakta, pemikiran, pengelihatan, atau apapun..
Bukan berarti mereka yang 'tidak percaya' itu sesat. Karena nilai religius bisa ada di dalam diri mereka yang tidak percaya, tapi belum tentu nilai religius berada pada diri mereka yang percaya.

Hanya mereka yang pintar, yang mengerti.